kalamullah..

Tuesday, March 29, 2011

Sempadan Pemisah Antara Mutaqaddimin dan Muta’akhkhirin

الحد الفاصل بين المتقدمين والمتأخرين


Sempadan Pemisah Antara Mutaqaddimin dan Muta’akhkhirin

Monday, March 28, 2011

IBNU TAIMIYYAH:



~Ibnu Taimiyyah~
Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani 

Thursday, March 17, 2011

Pengantar Falsafah Islam


Perbahasan tentang falsafah Islam biasanya berkisar kepada masalah asas dalam epistemologi iaitu sumber wahyu dan akal. Sejak dari dulu hingga sekarang persoalan-persoalan tentang dua sumber inilah yang terus menerus diperdebatkan sehingga timbul beberapa aliran dan mazhab dalam pemikiran Islam.

Sayid Jamaluddin Al-Afghani: Pelopor Islah & Tajdid



Sayid Jamaluddin al-Afghani (1838[1]-1897) merupakan seorang aktivis politik dan nasionalis Islam di AfghanistanIranMesirdan Empayar Uthmaniyyah semasa kurun ke-19. Beliau merupakan salah seorang pelopor pemodenan Islam.
Sebagai modernis Islam pertama, yang pengaruhnya dirasakan di beberapa negara, Afghani memicu kecenderungan menolak tradisionalisme murni dan westernisme murni. Meski Afghani di kemudian hari --dan sejak meninggalnya-- dikaitkan khususnya dengan pan-Islam, tulisan pan-Islamnya hanya menjadi sebahagian dari dasawarsa penting 1880-an. Dalam hidupnya dia mempromosikan berbagai sudut pandang yang sering bertentangan. Dan pikirannya juga memiliki afiniti dengan berbagai kecenderungan di dunia Muslim. Ini meliputi liberalisme Islam yang diserukan khususnya oleh Muhammad 'Abduh, orang Mesir yang menjadi muridnya.

Tuesday, March 1, 2011

INTIPATI PEMIKIRAN SALAFI


Yang dimaksud dengan “Pemikiran Salafi” di sini ialah kerangka berfikir (manhaj fikri) yang tercermin dalam pemahaman generasi terbaik dari umat ini iaitu para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, dengan mempedomani hidayah al-Qur’an dan Nabi SAW.

Kriteria/ Intipati Manhaj Salafi yang Benar

Iaitu suatu manhaj yang secara global berpijak pada prinsip berikut :

1- Berpegang pada nas-nas yang ma'sum (suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh.

2- Mengembalikan masalah-masalah “mutashabihat” (yang kurang jelas) kepada masalah “muhkamat” (yang  pasti dan tegas) serta mengembalikan masalah yang zanni kepada yang qat’i.
3- Memahami kes-kes furu’ (kecil) dan juz’i (tidak prinsip) dalam kerangka prinsip dan masalah fundamental.
4- Menyeru “Ijtihad” dan pembaruan. Memerangi “Taqlid” dan kebekuan.
5- Mengajak untuk beriltizam (memegang teguh) akhlak Islamiah bukannya meniru trend.
6- Dalam masalah fiqh, berorientasi pada “kemudahan” bukan “mempersulit”.
7- Dalam hal bimbingan dan penyuluhan, lebih memberikan motivasi bukan menakut-nakuti.
8- Dalam bidang aqidah, lebih menekankan penanaman keyakinan, bukan dengan perdebatan.
9- Dalam masalah Ibadah, lebih mementingkan jiwa ibadah, bukan formalisnya.
10- Menekankan sikap “ittiba’” (mengikuti) dalam masalah agama serta menanamkan semangat “ikhtira’” (kreatif dan berdaya cipta) dalam masalah kehidupan dunia.

Inilah inti “manhaj salafi”. Dengan manhaj inilah dibinanya generasi Islam terbaik, dari segi teori dan praktik sehingga mereka mendapat pujian langsung dari Allah di dalam al-Qur’an dan Hadith-Hadith Nabi SAW serta dibuktikan kebenarannya oleh sejarah. Merekalah yang telah berhasil memindahkan al-Qur’an kepada generasi sesudah mereka menghafal Sunnah, mempelopori berbagai kemenangan (futuh), menyebarluaskan keadilan dan keluhuran (ihsan). Mendirikan “negara ilmu dan Iman”. bahkan mereka juga membangun peradaban rabbani yang manusiawi, bermoral dan mendunia. Sampai sekarang masih tercatat dalam sejarah.



“Salafiah” Dirosak oleh Pihak yang Pro dan Kontra

Istilah “Salafiah” telah dirosak rupanya yang sebenar oleh kalangan yang pro dan kontra terhadap “salafiah”. Orang-orang yang pro-salafiah – baik yang sementara ini dianggap orang dan menamakan dirinya demikian, atau yang sebagian besar mereka benar-benar salafiyah – telah membatasinya dalam skop formal dan kontroversi saja, seperti masalah-masalah tertentu dalam Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh atau Ilmu Tasawuf. Mereka sangat keras dan garang terhadap orang lain yang berbeza pendapat dengan mereka dalam masalah-masalah kecil dan tidak berprinsip ini. Sehingga memberi kesan bahwa manhaj Salaf adalah metod “debat” dan “polemik”, bukan manhaj konstruktif dan praktis. Dan juga memberi impak bahawa yang dimaksud dengan “Salafiah” ialah mempersoalkan yang kecil-kecil dengan mengorbankan hal-hal yang asas. Membahaskan khilafiah dengan mengabaikan masalah-masalah yang disepakati. Mementingkan formal dan kulit dengan melupakan inti dan jiwa.
Sedangkan pihak yang kontra-salafiah mengatakan fahaman ini “terbelakang”, sentiasa menoleh ke belakang, tidak pernah memandang ke depan. Fahaman Salafiah, menurut mereka, tidak menaruh perhatian terhadap masa kini dan masa depan. Sangat fanatik terhadap pendapat sendiri, tidak mendengar suara orang lain. Salafiah dikenali dengan anti pembaharuan, mematikan kreativiti dan inovasi. Serta tidak mengenal modenisasi dan pertengahan.
Sebenarnya tuduhan-tuduhan ini merosak wajah sebenar salafiah yang hakiki dan pendokong-pendokongnya yang asli. Tokoh yang paling menonjol dalam menyebarkan “salafiah” dan membelanya pada masa lampau ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim. Mereka inilah orang yang berjuang mewakili gerakan”pembaruan Islam” pada masa mereka. Kerana pembaharuan yang mereka lakukan benar-benar melengakapi seluruh disiplin ilmu Islam.
Mereka telah menumpas faham “taqlid”, “fanatisme madzhab” fiqh dan ilmu kalam yang sempat mendominasi dan mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad. Namun, di samping kesungguhan mereka dalam membasmi “ashobiyah madzhabiyah” ini, mereka tetap menghargai para Imam Madzhab dan memberikan hak-hak mereka untuk dihormati. Hal itu jelas terlihat dalam risalah “Raf’l – malaam ‘anil – A’immatil A’lam” karya Ibnu Taimiyah.
Di samping itu, terdapat juga teguran mereka terhadap “tasawuf” karena penyimpangan-penyimpangan pemikiran dan aqidah yang menyebar di dalamnya. Khususnya di tangan pendiri madzhab “Al-Hulul Wal-Ittihad” (penyatuan). Dan penyelewengan perilaku yang dilakukan para orang jahil dan yang menyalahgunakan “tasawuf” untuk kepentingan pribadinya. Namun, mereka menyedari tasawuf yang benar (shahih). Mereka memuji para pemuka tasawuf yang ikhlas dan robbani. Bahkan dalam bidang ini, mereka meninggalkan warisan yang sangat berharga, yang tertanam dalam dua jilid dari “Majmu’ Fatawa” karya besar Imam Ibnu Taimiyah. Demikian pula dalam beberapa karangan Ibnu-Qoyyim. Yang termasyhur ialah “Madarijus Salikin syarah Manazil As-Sairin ila Maqomaat Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in”, dalam tiga jilid.

Mengikut Manhaj Salaf Bukan Hanya Sekadar Ucapan

Yang perlu ditekankan di sini, mengikut manhaj salaf, tidaklah bererti sekadar ucapan-ucapan mereka dalam masalah-masalah kecil tertentu. Adalah suatu hal yang mungkin terjadi, kita mengambil pendapat-pendapat salaf dalam masalah yang juz’i (kecil), namun pada hakikatnya kita meninggalkan manhaj mereka yang universal dan seimbang.
 Sebagaimana juga mungkin, kita memegang teguh manhaj mereka yang kulli (universal), jiwa dan tujuan-tujuannya, walaupun kita menyalahi sebahagian pendapat dan ijtihad mereka.
Inilah sikap yang sepatutnya secara peribadi terhadap kedua Imam tersebut, yakni Imam Ibnu Taimiyah dan Ibnul-Qoyyim. Kita sangat menghargai manhaj mereka secara global dan memahaminya. Namun, ini tidak bererti bahawa kita harus mengambil semua pendapat mereka. Jika kita melakukan hal itu bererti kita telah terperangkap dalam “taqlid” yang baru. Dan bererti telah melanggar manhaj yang mereka pegang dan perjuangkan sehingga mereka disiksa karananya. Yaitu manhaj “nalar” dan “mengikuti dalil”. Melihat setiap pendapat secara objektif, bukan memandang orangnya. Apa ertinya kita protes orang lain mengikut (taqlid) Imam Abu Hanifah atau Imam Malik, jika kita sendiri taqlid kepada Ibnu Taimiyah atau Ibnul-Qoyyim.
Juga termasuk menzalimi kedua Imam tersebut, hanya menyebutkan sisi ilmiah dan pemikiran dari hidup mereka dan mengabaikan segi-segi lain yang tidak penting dengan sisi pertama. Sering terlupakan sisi Robbani dari kehidupan Ibnu Taimiyah yang pernah menuturkan kata-kata: “Aku melewati hari-hari dalam hidupku di mana suara hatiku berkata, kalaulah yang dinikmati ahli syurga itu seperti apa yang kurasakan, pastilah mereka dalam kehidupan yang bahagia”.
Di dalam penjara dan penyiksaannya, beliau pernah mengatakan: “Apa yang hendak dilakukan musuh terhadapku? Kehidupan di dalam penjara bagiku merupakan khalwat (mengasingkan diri dari kebisingan dunia), pengasingan bagiku merupakan rekreasi, dan jika aku dibunuh adalah mati syahid”.
Beliau adalah seorang insan rabbani yang amat berperasaan. Demikian pula muridnya Ibnul-Qoyyim. Ini dapat dirasakan oleh semua orang yang membaca kitab-kitabnya dengan hati yang terbuka.
Namun, seringkali kita melupakan, sisi “dakwah” dan “jihad” dalam kehidupan dua Imam tersebut. Imam Ibnu Taimiyah terlibat langsung dalam beberapa medan pertempuran dan sebagai penggerak. Kehidupan dua tokoh itu penuh diwarnai perjuangan dalam memperbaharui Islam. Disumbat ke dalam penjara beberapa kali. Akhirnya Syaikhul Islam mengakhiri hidupnya di dalam penjara, pada tahun 728 H. Inilah makna “Salafiah” yang sebenarnya.
Bila kita alihkan pandangan ke zaman sekarang, kita temukan tokoh yang paling menonjol menyebarkan “salafiah”, dan paling gigih mempertahankannya melalui artikel, kitab karangan dan majalah pembawa misi “salafiah”, ialah Imam Muhammad Rasyid Ridha. Penulis majalah “Al-Manar’ yang selama kurun waktu tiga puluh tahun lebih membawa “bendera” salafiah ini, menulis Tafsir “Al-Manar” dan dimuat dalam majalah yang sama, yang telah menyebar ke seluruh pelosok dunia.
Rasyid Ridha adalah seorang mujaddid Islam pada masanya. Barangsiapa membaca “tafsir”nya, sperti : “Al-Wahyu Al-Muhammadi”, “Yusrul-Islam”, “Nida’ Lil-Jins Al-Lathief”, “Al-Khilafah”, “Muhawarat Al-Mushlih wal-Muqollid” dan sejumlah kitab dan artikelnya, akan melihat bahawa pemikiran tokoh yang satu ini benar-benar merupakan “Manar” (menara) yang memberi petunjuk dalam perjalanan Islam di zaman moden. Kehidupan amalinya merupakan bukti bagi pemikiran “salafiah”nya.
Beliaulah yang merumuskan sebuah kaedah yang terkenal dan diteruskan oleh Imam Hasan Al-Banna. Yaitu kaedah :
“Mari kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati. Dan mari kita saling memaafkan dalam masalah-masalah yang kita berbeza pendapat.”
Betapa indahnya kaedah ini jika difahami dan diterapkan oleh mereka yang mengaku dirinya sebagai “pengikut Salaf”.



Sumber: Aulawiyat al-Harakah al-Islamiyah fi al-Marhalah al-Qadimah-Dr.Yusuf Al Qordhowi